Sore Istri dari Masa Depan: Jadi Pionir Meski Banyak Kena Sindir

*Spoiler alert

Sore, film fantasi romantis dengan time loop pertama di Indonesia, mulai rilis di 10 Juli 2025. Saat artikel ini diedit, penontonnya sudah mencapai 2,3 juta orang. Sebuah capaian yang cukup fantastis bagi film Indonesia di tahun 2025.

Sore: Istri dari Masa Depan mengisahkan seorang tokoh yang bernama Jonathan. Ia adalah seorang fotografer asal Indonesia yang menetap di Kroasia. Kehidupannya berubah drastis ketika seorang perempuan misterius bernama Sore muncul dan mengaku sebagai istrinya dari masa depan. 

Awalnya, Jonathan skeptis terhadap klaim Sore, namun perhatian dan kasih yang ditunjukkan oleh Sore perlahan mengubah pandangannya. Sore berusaha membantu Jonathan mengatasi kebiasaan buruknya dan menjalani hidup yang lebih sehat. Kehadiran Sore membawa Jonathan pada perjalanan emosional yang mendalam, dan memaksanya menghadapi kenyataan dan keputusan masa depan.

Jonathan terlihat gembira dan baik-baik saja di permukaan. Ia sibuk mengejar mimpinya menjadi fotografer sukses, sambil menjalin cinta dengan trust fund baby di negeri asing. Namun di bawah sadarnya, ia menyimpan trauma dan luka dari masa kecilnya.

Sore, tokoh misterius yang tak banyak kita ketahui di awal film berjalan. Namun seiring durasi yang terus bertambah, kita makin mengenal Sore dan turut bersimpati padanya. Kejar-kejaran dengan waktu yang dilakukannya bisa membuat penonton menahan napas, seakan sedang ikut berlari dan membuat semua yang ada di kursi sinema ikut lelah.

Sore ingin Jonathan kembali di sisinya, bukan wafat karena penyakit yang disebabkan kebiasaan buruknya. Namun tujuannya tak mudah tercapai. Ternyata manusia tak semudah itu mengubah kebiasaan. Sembunyi-sembunyi, Jonathan tetap merokok saat Sore tak melihat. Maka Sore kembali mengulang perjalanannya melintasi ruang dan waktu. Berdarah-darah ia, tapi kejadiannya berulang kembali. Ketika ia memutuskan untuk pergi meninggalkan Jonathan dan memulai hidup barunya di Kroasia, hatinya teriris melihat kesayangannya bersanding dengan gadis lain. Tak kuat, ia ulang kembali ke awal. 

Namun di balik semuanya, ternyata Jonathan punya rahasia lain yang tak diketahui Sore. Ia menyimpan kedukaan yang amat sangat ketika ayahnya berpaling ke wanita lain dan meninggalkannya. Sore memaksa menyibak kabut kedukaan ini dengan menyusun janji bertemu dengan ayah Jonathan. Tapi apa yang dipaksa memang tak akan bertahan lama. Aurora merah di langit Kroasia, bukti kemarahan sang pelakon ketiga, Sang Waktu, membuat perjalanan Sore makin singkat dari hari ke hari. Meski mengulang dari awal yang sama, perjalanannya terus memendek. 

Lokasi yang wah, membuat gambar-gambarnya enak dilihat mata. Film ini memang punya lokasi-lokasi spektakuler. Kroasia, Finlandia dan Indonesia. Indahnya Zagreb dengan suasananya yang antik, seperti zaman pertengahan. Rumah tempat tinggal Jonathan pun punya keunikan tersendiri. Small, yet cozy. Meski begitu, tak ada shot khusus yang menakjubkan atau inovatif di luar kebiasaan film-film lainnya. 

Editing film ini membawa kita merasakan perjalanan karakter masing-masing. Jonathan yang waktunya berhenti ketika ia ditinggal ayahnya. Sore yang terus berkejaran dengan waktu juga ikut membuat kita lelah, seakan terus ikut berlari bersama Sore. 

Hanya saja, di akhir, saat di pameran foto Jonathan, mengapa editing film ini terasa Disney-esque? Seakan ketika Sore dan Jonathan bersatu kembali, semua akan happy ever after? Film ini dari yang tadinya keren sekali jadi agak cringe di bagian ini. 

Suara di film ini bagus sekali dalam menyatukannya dengan editing. Favoritku, saat perkenalan Sore. Saat lapisan demi lapisan karakter Sore mulai terlihat, paduan suara dan editing membawa kita ikut berlari dalam perjalanan Sore. Lagu-lagu yang dipakai pun ikut menghidupkan suasana, memberi sendu pada saatnya. Retrospektif di saat yang lain. 

Akting Sheila Dara jempolan di sini. Mungkin karena memang ialah sang pemeran utama, hingga disematkan namanya di film. Sebaliknya, Dion Wiyoko, aktingnya bukan buruk, hanya datar saja. Meski mungkin ini disebabkan karakternya yang lemah, hanya sebagai motivasi bagi Sore. Seolah ia menjadi reverse manic pixie girl, meski tidak se-nyentrik itu. Para pemeran pendukung pun cukup kaku, untungnya porsi mereka tak banyak. Sedangkan waktu, ia jadi pemeran utama lainnya dalam lakon ini. Bahkan sampai punya kredit sendiri dalam credit scene di akhir film. Dengan waktu lah Sore dan Jonathan bermain dan berkejaran. 

Karakter Sore sendiri cukup divisif. Motivasinya yang ingin menyelamatkan Jonathan dari kematian bisa diartikan dari berbagai sisi bagi penonton. Beberapa turut bersimpati, karena kehilangan orang tercinta tak pernah mudah. Lainnya mungkin justru merasa sore terlalu berlebihan dalam mencinta.

Meski struktur cerita ini cukup bolak-balik karena ia memang bercerita tentang time loop yang dilalui Sore dalam perjalanannya ‘menyelamatkan’ Jonathan, logika cerita cukup dapat dimengerti tanpa kesulitan. Lemahnya film ini justru ada di dialognya. Seakan berusaha jadi quotes-quotes di Tumblr, dialog Sore dan Jonathan justru terasa kaku, bahkan cringe. Tak luwes. 

Meski begitu, film ini jauh dari kata buruk. Ceritanya mungkin berbeda-beda di benak masing-masing penontonnya. Namun, film ini tetap layak untuk segera ditonton di bioskop terdekat.

asiah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *