Skinny Shaming: Menjadi Kurus di Masyarakat

“Kurang gizi ya.”

“Badan kamu cuma tulang dan kulit doang ya.”

“Ih, dasar tengkorak.”

“Makan dong yang banyak!”

Hanya beberapa dari kata-kata yang sering didengar perempuan itu. Awalnya dia tidak peduli. Toh dia tidak pernah merugikan orang lain karena tubuhnya. Namun makin lama, omongan tentang tubuhnya makin menjadi-jadi.

“Jijik tahu ngelihat badanmu.”

Kata-kata itu terus diulang orang di sekitar mulai dari kecil. Bahkan orang yang baru bertemu juga mengatakannya. Akhirnya dia mulai merasa ragu. Mungkin memang ada yang salah dengan tubuhnya.

Dia mulai mengikuti saran orang lain untuk makan lebih banyak. Mungkin selama ini dia masih kurang mengonsumsi makanan. Walau kenyataannya dia dan orang-orang kurus di sekitarnya selalu punya selera makan lebih besar dari yang lain. Mungkin untuk menutup mulut orang lain yang dengan seenaknya mengatakan mereka kurang makan. Mungkin juga karena mereka memang gampang lapar. Ah, cuma asumsi-asumsinya sendiri.

Namun makanan yang masuk tidak membawa perubahan apa-apa. Dia masih saja kurus. Hingga beberapa orang bahkan berinisiatif menawarkan donor lemak dari tubuh mereka. Tentu saja bercanda. Seandainya semudah itu, dia pasti menerimanya dengan senang hati.

Satu saat, dia merasa kalori berlebih tidak akan baik. Selain juga meningkatkan risiko terkena penyakit. Maka dimulailah program mengatur pola makannya. Komentar orang-orang justru, “Lo udah kurus juga. Apalagi sih yang mau diilangin? Yang ada habis semua badannya nanti.”

Karena dia harus selalu bangga menjadi kurus.

Satu keuntungan menjadi kurus, minimal untuknya, lebih gampang menyelip di lift. Dia jadi tak perlu menunggu lama saat istirahat makan siang untuk sekadar turun ke kantin. Selain itu, apa lagi manfaatnya?

It was a love-hate relationship with her body. Saat seharusnya dia cukup menggunakan pakaian berukuran M, dia akan lebih memilih ukuran L, XL, atau baju laki-laki yang berukuran besar.

Belum lagi obrolan ruang ganti laki-laki maupun perempuan yang membandingkan ukuran anggota tubuh dengan jawaban pilihan ganda. A, B, C, D, atau bahkan E.

Juga perdebatan yang tidak ada habisnya antara :

“Cewek tuh mesti yang payudaranya montok.” Atau kubu lainnya yang berpendapat, “Salah, perempuan tuh dilihat dari bokongnya. Yang paling oke tuh yang bokongnya berisi.”

Dia tahu ini pelecehan. Namun di saat yang bersamaan, mau tidak mau dia juga bertanya. Apakah perempuan yang tidak sesuai dengan standar itu berkurang kadar ‘keperempuanannya’?

Definisi Kurus

Bagaimana mendefinisikan orang kurus? Tidak ada data statistik yang jelas untuk itu. Dia pernah mencarinya. Namun tentu saja tidak dia temukan. Kurus lebih menunjukkan proporsi antara berat dan tinggi badan dibandingkan angka-angka tertentu. Kalau di Kamus Besar Bahasa Indonesia, kurus berarti:

kurus/ku·rus/

kurus /ku.rus/ a 1 kurang berdaging; tidak gemuk (tentang tubuh dan sebagainya): badannya — karena kurang makan; 2 tandus; tidak subur (tentang tanah dan sebagainya): lahan yang — itu harus dipupuk supaya subur; 3 kurang berkayu; kurang lebat daunnya (tentang pohon, tebu, dan sebagainya);

Beberapa pihak bilang, kurus adalah gambaran badan ideal yang selalu digembar-gemborkan. Padahal, bukan tubuh kurus yang diinginkan dan ditampilkan di media. Namun pinggang kecil dengan tubuh bagian atas dan bawah besar. Hingga ada istilah gitar spanyol untuk menggambarkannya. Dia masih ingat liukan tangan meniru bentuk gitar spanyol yang dilakukan orang-orang.

Citra tidak sehat ini diikuti banyak orang. Salah satu dampaknya memperbanyak operasi plastik pembesaran bagian tubuh. Atau dengan suntik silikon jika tidak mampu.

Kemudian tiba-tiba Meghan Trainor datang dan bernyanyi:

Yeah,

Yeah, my momma she told me don’t worry about your size
She says “boys they like a little more booty to hold at night”
You know I won’t be no stick-figure, silicone Barbie doll
…..

I’m bringing booty back

Go ahead and tell them skinny bitches Hey

No, I’m just playing

Mungkin terdengar gila kalau dia merasa diserang oleh lirik lagu. Namun kenyataannya, memang ada skinny bitches yang tidak bisa memilih bentuk tubuhnya. Mengapa orang harus merayakan kelebihannya dengan menjatuhkan orang lain? Pertanyaan itu sering sekali dipikirkannya.

Skinny shaming memang ada. Bukan cuma fat shaming. Meski sampai sekarang masih ada perdebatan tentang itu. Beberapa orang bilang, skinny shaming tidak melibatkan prasangka dan penghakiman tersendiri. Ah, siapa bilang? Setiap kali ada yang bertanya tentang bullying di Twitter dan platform media sosial lainnya, pasti ada saja yang mengaku di-bully karena kurus. Lengkap dengan sebutan-sebutan tidak mengenakkan lainnya. Satu yang jelas, body shaming tidak pernah menyenangkan.

Pun bukan cuma perempuan-perempuan saja yang diganggu atas tubuh kurus mereka. Laki-laki juga demikian. Seperti ada saja yang salah dengan pria kurus.

“Laki-laki dilihat dari dadanya yang senderable.”

“Oh bukan! Tentu saja dari perutnya yang six pack.”

“Eits, lengannya lah. Lengan yang kekar dan berurat tuh bikin jatuh cinta deh.”

Beragam pendapat serupa tentang tubuh ideal pria bisa dengan mudah didengar di keseharian. Atau dilihat di dunia maya.

Maka makin banyak lelaki yang merasa dirinya salah. Lalu mencoba menghabiskan waktu di pusat kebugaran ternama untuk mengubah tampilan fisik yang tidak membuatnya puas. Juga berbotol-botol bubuk protein atau mungkin tambahan steroid untuk hasil lebih cepat.

Menjadi kurus memang tidak pernah menjadi pilihan. Namun, saat ini, dia sudah tidak peduli lagi.

asiah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *