Sore Istri dari Masa Depan: Jadi Pionir Meski Banyak Kena Sindir

*Spoiler alert

Sore, film fantasi romantis dengan time loop pertama di Indonesia, mulai rilis di 10 Juli 2025. Saat artikel ini diedit, penontonnya sudah mencapai 2,3 juta orang. Sebuah capaian yang cukup fantastis bagi film Indonesia di tahun 2025.

Sore: Istri dari Masa Depan mengisahkan seorang tokoh yang bernama Jonathan. Ia adalah seorang fotografer asal Indonesia yang menetap di Kroasia. Kehidupannya berubah drastis ketika seorang perempuan misterius bernama Sore muncul dan mengaku sebagai istrinya dari masa depan. 

Awalnya, Jonathan skeptis terhadap klaim Sore, namun perhatian dan kasih yang ditunjukkan oleh Sore perlahan mengubah pandangannya. Sore berusaha membantu Jonathan mengatasi kebiasaan buruknya dan menjalani hidup yang lebih sehat. Kehadiran Sore membawa Jonathan pada perjalanan emosional yang mendalam, dan memaksanya menghadapi kenyataan dan keputusan masa depan.

Jonathan terlihat gembira dan baik-baik saja di permukaan. Ia sibuk mengejar mimpinya menjadi fotografer sukses, sambil menjalin cinta dengan trust fund baby di negeri asing. Namun di bawah sadarnya, ia menyimpan trauma dan luka dari masa kecilnya.

Sore, tokoh misterius yang tak banyak kita ketahui di awal film berjalan. Namun seiring durasi yang terus bertambah, kita makin mengenal Sore dan turut bersimpati padanya. Kejar-kejaran dengan waktu yang dilakukannya bisa membuat penonton menahan napas, seakan sedang ikut berlari dan membuat semua yang ada di kursi sinema ikut lelah.

Sore ingin Jonathan kembali di sisinya, bukan wafat karena penyakit yang disebabkan kebiasaan buruknya. Namun tujuannya tak mudah tercapai. Ternyata manusia tak semudah itu mengubah kebiasaan. Sembunyi-sembunyi, Jonathan tetap merokok saat Sore tak melihat. Maka Sore kembali mengulang perjalanannya melintasi ruang dan waktu. Berdarah-darah ia, tapi kejadiannya berulang kembali. Ketika ia memutuskan untuk pergi meninggalkan Jonathan dan memulai hidup barunya di Kroasia, hatinya teriris melihat kesayangannya bersanding dengan gadis lain. Tak kuat, ia ulang kembali ke awal. 

Namun di balik semuanya, ternyata Jonathan punya rahasia lain yang tak diketahui Sore. Ia menyimpan kedukaan yang amat sangat ketika ayahnya berpaling ke wanita lain dan meninggalkannya. Sore memaksa menyibak kabut kedukaan ini dengan menyusun janji bertemu dengan ayah Jonathan. Tapi apa yang dipaksa memang tak akan bertahan lama. Aurora merah di langit Kroasia, bukti kemarahan sang pelakon ketiga, Sang Waktu, membuat perjalanan Sore makin singkat dari hari ke hari. Meski mengulang dari awal yang sama, perjalanannya terus memendek. 

Lokasi yang wah, membuat gambar-gambarnya enak dilihat mata. Film ini memang punya lokasi-lokasi spektakuler. Kroasia, Finlandia dan Indonesia. Indahnya Zagreb dengan suasananya yang antik, seperti zaman pertengahan. Rumah tempat tinggal Jonathan pun punya keunikan tersendiri. Small, yet cozy. Meski begitu, tak ada shot khusus yang menakjubkan atau inovatif di luar kebiasaan film-film lainnya. 

Editing film ini membawa kita merasakan perjalanan karakter masing-masing. Jonathan yang waktunya berhenti ketika ia ditinggal ayahnya. Sore yang terus berkejaran dengan waktu juga ikut membuat kita lelah, seakan terus ikut berlari bersama Sore. 

Hanya saja, di akhir, saat di pameran foto Jonathan, mengapa editing film ini terasa Disney-esque? Seakan ketika Sore dan Jonathan bersatu kembali, semua akan happy ever after? Film ini dari yang tadinya keren sekali jadi agak cringe di bagian ini. 

Suara di film ini bagus sekali dalam menyatukannya dengan editing. Favoritku, saat perkenalan Sore. Saat lapisan demi lapisan karakter Sore mulai terlihat, paduan suara dan editing membawa kita ikut berlari dalam perjalanan Sore. Lagu-lagu yang dipakai pun ikut menghidupkan suasana, memberi sendu pada saatnya. Retrospektif di saat yang lain. 

Akting Sheila Dara jempolan di sini. Mungkin karena memang ialah sang pemeran utama, hingga disematkan namanya di film. Sebaliknya, Dion Wiyoko, aktingnya bukan buruk, hanya datar saja. Meski mungkin ini disebabkan karakternya yang lemah, hanya sebagai motivasi bagi Sore. Seolah ia menjadi reverse manic pixie girl, meski tidak se-nyentrik itu. Para pemeran pendukung pun cukup kaku, untungnya porsi mereka tak banyak. Sedangkan waktu, ia jadi pemeran utama lainnya dalam lakon ini. Bahkan sampai punya kredit sendiri dalam credit scene di akhir film. Dengan waktu lah Sore dan Jonathan bermain dan berkejaran. 

Karakter Sore sendiri cukup divisif. Motivasinya yang ingin menyelamatkan Jonathan dari kematian bisa diartikan dari berbagai sisi bagi penonton. Beberapa turut bersimpati, karena kehilangan orang tercinta tak pernah mudah. Lainnya mungkin justru merasa sore terlalu berlebihan dalam mencinta.

Meski struktur cerita ini cukup bolak-balik karena ia memang bercerita tentang time loop yang dilalui Sore dalam perjalanannya ‘menyelamatkan’ Jonathan, logika cerita cukup dapat dimengerti tanpa kesulitan. Lemahnya film ini justru ada di dialognya. Seakan berusaha jadi quotes-quotes di Tumblr, dialog Sore dan Jonathan justru terasa kaku, bahkan cringe. Tak luwes. 

Meski begitu, film ini jauh dari kata buruk. Ceritanya mungkin berbeda-beda di benak masing-masing penontonnya. Namun, film ini tetap layak untuk segera ditonton di bioskop terdekat.

Budi Pekerti : Ambisius Namun Eksekusi Tak Mulus

Budi Pekerti, Andragogy poster
Poster Budi Pekerti

Konsep Uses & Gratification menyebutkan bahwa orang memilih media yang mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Kebutuhan tersebut di antaranya adalah eskapisme (escape), hiburan (entertainment), mencari informasi (information seeking), dan bersosialisasi (socialization). Begitu juga yang dicari orang dari penggunaan media sosial. Namun saat ini tujuan tersebut harus sudah di-update. Tambahannya, julid! 

Kejulidan orang-oranglah yang menimpa Bu Prani sehingga menghadapi krisis besar di hidupnya. Bu Prani merupakan seorang guru BK. Ia sempat ribut dengan pembeli putu yang menyerobot antrean di pasar. Kejadian itu direkam dan diunggah ke media sosial hingga viral. Ketikan dan kritikan netizen banyak menyerang Bu Prani. Semua aspek kehidupannya berubah. Urusan pribadinya tak lagi tenteram, pekerjaan profesionalnya pun terdampak. Bahkan keluarganya juga ikut terpengaruh oleh keviralan tersebut. 

Bu Prani hanya ingin kembali ke kehidupan asalnya. Tanpa viral-viral lagi. Namuni setiap usaha yang dilakukannya seperti menemui halangan lainnya. Apalagi ketika ia merespon kritikan di dunia maya, netizen merespon balik dengan mencari-cari kesalahannya.

Elemen-Elemen Pendukung Cerita Penuh Naik Turun

Akting Sha Ine Febriyanti adalah yang paling cemerlang di film ini. Beberapa kali ia menatap kosong disinari ring light aneka warna. Indah. Ekspresi lain dari aktris tersebut selalu penuh kesan. Tak dipaksa. Mengalir saja. Berbeda dengan akting keluarga dan tokoh pendukung lainnya. Meski mungkin dimaksudkan teatrikal, akting malah jatuh ke cringe. Kikuk dan patah-patah. Tak ada subtlety. Eksekusinya terasa kurang baik. Apalagi adegan Tita di kolam lele. Dua kali saya menontonnya pada platform berbeda, dua kali pula tubuh saya bergidik tak enak.

Begitu juga dengan karakter yang diciptakan untuk film ini. Biasanya saya menyukai karakter-karakter yang flawed, dibandingkan manusia penuh kesempurnaan. Namun pada film ini, manusianya bukan saja flawed, tapi ngeselin blas. Mungkin hanya Bu Pranilah yang waras di rumah itu. Anaknya yang satu sok skena dengan pikiran sendiri dan merasa paling benar, yang satu sekuter (selebriti kurang terkenal) banyak tingkah, suaminya menderita bipolar dan berkali-kali menghabiskan uang untuk usaha yang ora jelas. Sudah bagus Bu Prani tidak meledak sehari-harinya. 

Make up natural dan kostum yang dipilih menambah kuatnya kesan mereka datang dari keluarga menengah yang tidak terlalu ambil pusing dengan kosmetika. Apalagi sang bapak yang sedang dalam fase depresi. Seperti tidak mandi berhari-hari. 

Setting film dibuat cukup baik. Secara eksplisit semua adegan menampilkan keadaan saat pandemi COVID-19 dengan masker berwarna mencolok, ruang kelas yang kosong, proses belajar mengajar bahkan upacara yang dilakukan lewat perantara Zoom. Itu juga diperkuat dengan pernyataan langsung dari sang ayah yang usaha skuter listriknya ditutup akibat pembatasan orang saat pandemi COVID-19. Arsitektur khas Jawa dan jurang gamping menandakan lokasi syutingnya yang berada di Yogyakarta. 

Namun yang menjadi perhatian saya adalah ketika berkali-kali Bu Prani dan keluarganya di-shoot dari balik frame yang dibentuk oleh pagar dan benda-benda sejenis. Sepintas lalu, terlihat seperti jeruji yang membuat Bu Prani dan keluarga terpenjara oleh omongan orang-orang di internet. Serupa terkurung dalam ekspektasi dan hinaan.

Sound editing pun juara.. Ketika Bu Prani ingin menghilang dan meredam bebunyian di sekitarnya untuk mendengar detak jantungnya saja, penonton akan merasa ikut dibawa dalam usahanya melarikan diri dari kenyataan hidupnya yang ruwet

Warna-warni yang mentereng seolah ingin menegaskan bahwa apa yang film ini bawakan sangat penting dan nyata dan dikupas oleh semua pemainnya. Sayangnya film ini terlihat terlalu vulgar menjadi usaha apologi sang pembuat film.

Pembuatan Film Sebagai Usaha Apologi?

Film terakhir Wregas, Penyalin Cahaya, awalnya sempat ditunggu-tunggu penikmat film Indonesia setelah ditayangkan perdana di Festival Film Busan. Namun, ternyata salah satu penulisnya, Henricus Pria, pernah menjadi pelaku kekerasan seksual. Maka film dan Pria ramai dibahas di media sosial, khususnya Twitter. Diskusi bagaimana karya harus diapresiasi. Apakah harus dipisahkan dari kreatornya atau tidak? Apalagi mengingat peran Henricus Pria cukup vital dalam pembuatan film ini, seorang penulis naskah. Namun, kontroversi itu jugalah yang membuat film ini justru ramai ditonton dan sempat menduduki peringkat 1 film di Indonesia. 

Film ini terasa ingin meyakinkan penonton bahwa media sosial adalah racun. Apa pun langkahmu di media sosial akan diartikan salah oleh para netizen yang disebut maha benar. 

Pembuat film juga seolah ingin menyinggung sikap hipokrit yang dilakukan oleh netizen dan orang-orang yang seolah-olah membela kebenaran. Hanya saja, eksekusinya terlalu vulgar diungkap. Jadi tak elegan dan jatuh pada klise semata. Meski begitu, dengan perolehan 579.478  setelah 43 hari penayangan, Budi Pekerti patut diberi tepuk tangan dalam upanya mengisi ceruk film Indonesia sehingga tak melulu horor dan drama romantis saja.

Budi Pekerti | 2023 | Sutradara: Wregas Bhatuneja | Penulis: Wregas Bhatuneja | Produksi: Rekata Studio dan Kaninga Pictures | Pemeran:  Sha Ine Febriyanti, Dwi Sasono, Angga Yunanda, Prilly Latuconsina, Omara Esteghlal, Ari Lesmana

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film: Sebuah Surat Cinta Bagi Sinema Indonesia

Duka bagi sebagian orang serupa kehilangan warna. Hal itu sepertinya yang membuat Yandy Laurens membalut sebagian besar film dalam hitam putih. Film yang terlebih dulu mampir pada Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) Luminescence ke-18 sebelum tayang di bioskop ini bercerita tentang pertemuan kembali Bagus dan Hana. Bagus (Ringgo Agus Rahman), seorang penulis naskah yang selalu menulis film adaptasi, kembali bertemu dengan Hana (Nirina Zubir), teman sekolah juga cinta lamanya. Namun ini bukan meet cute seperti biasanya, sebab Hana baru saja ditinggalkan suaminya ke alam lain. Mereka saling mengobrol, saling bercanda, juga mempertanyakan keyakinan masing-masing tentang cinta.

Bagus punya keyakinannya tentang cinta, seperti film-film romantis zaman dulu. Hana yang masih berduka, juga keras dengan kepercayaan bahwa tak ada lagi cinta untuk orang-orang seumurannya. Hidup ini harus realistis saja. Bagus tak terima. Ia baru saja bertemu dan merasakan cinta itu kembali menyala. Apa jadinya jika dua orang dengan keyakinan berbeda akan cinta tersebut berinteraksi? Tentu saja obrolan-obrolan seru tentang kehidupan, fantasi cinta, hingga pilihan film. Meski tentu tak semua manis-manis saja. Saksikan konflik mereka mulai memuncak hingga klimaks. Dijamin tak akan berpaling dari layar.

Romantic Comedy Masa Kini

Orang mungkin akan lebih mudah mengkategorikan Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (JESEDEEF) sebagai romantic comedy. Namun, siapa pun yang menontonnya akan berkesimpulan lain. Film ini adalah surat cinta sekaligus juga drama satire dari pembuatnya bagi film, khususnya film Indonesia. Balutan romansa saling berkejaran dengan komedi yang dijahit rapi. Tidak aneh meski sepintas saling terlihat berbalapan. 

Seperti yang dibilang Hana, film ini memang banyak mengobrolnya. Khas romansa orang-orang 30 tahun ke atas. Sehingga banyak sekali medium shot  dengan highlight ekspresi muka dan gerakan tangan para tokoh di film ini. 

Meski begitu, di akhir film, aspek teknikal sinematografi terlihat jelas. Begitu Cheline (Sheila Dara) membayangkan shot yang dia inginkan, mulai dari close up hingga drone shot, shot-shot itu langsung diwujudkan. Dan itu terlihat sangat wow. Banyak penonton di studio yang bertepuk tangan. Lewat metasinema, penonton juga merasa terlibat lebih jauh dalam cerita. Sekuens satu hingga delapan ditandai secara bold lewat tulisan yang besar di layar. Semua penonton tahu ini fiksi, tapi fiksi yang hangat, membawa keyakinan akan cinta ke benak masing-masing.

Kualitas akting Ringgo dan Nirina sudah tidak perlu diragukan lagi. Chemistry mereka yang terbangun dari beberapa lakon lain terbawa di film ini, menghasilkan tiap obrolan jadi mudah dinikmati. Lancar. Alex Abbad dengan karakternya sebagai produser pun makin menambah gerr penonton setiap ia berbicara. Lucu dan membuat penonton menjadi berempati dengan Bagus. Pemeran lain juga memberi sentuhan yang khas bagi film ini.Meski hitam putih pada sebagian besar durasinya, film ini tidak terlihat jadul. Juga tidak ada scene tak penting yang ingin segera dipercepat layaknya menonton film pada platform streaming. Itu tak terjadi di film ini. Durasinya seperti kurang, seperti ketiadaan desert di akhir makanan. Kurang manis, kurang asam. Seperti cinta.

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film | 2023 | Sutradara: Yandy Laurens | Penulis: Yandy Laurens | Pemeran: Ringgo Agus Rahman, Nirina Zubir, Alex Abbad, Sheila Dara Aisha, Dion Wiyoko, Julie Estelle

Lewat Djam Malam: Tontonan Favorit Kelas Atas

Ketidakbecusan polisi di dunia nyata beberapa minggu ini selalu jadi berita. Hanya oknum katanya, tapi begitu banyaknya. Pada Lewat Djam Malam, cerita orang berseragam lainnya yaitu mantan tentara pejuang dikisahkan Usmar Ismail lewat Iskandar (A. N. Alcaff). Hanya sehari semalam, tapi panjang sekali hari Si Iskandar.

Iskandar baru saja keluar dari dinas ketentaraannya. Ia menumpang di rumah kekasih yang begitu lama ia tinggalkan, Norma (Netty Herawati). Ayah sang kekasih tak suka melihatnya hanya diam saja di rumah dan lewat koneksinya, Iskandar diberikan pekerjaan membantu-bantu di kantor gubernur. 

Tanpa penjelasan apa yang harus ia kerjakan, Iskandar membatu di depan tumpukan kertas-kertas. Belum lagi harus menghadapi pendapat koleganya kalau ia mendapat pekerjaan dari ‘orang dalam’, Iskandar makin terpojok. Ia akhirnya justru terlibat konflik dan memutuskan pergi dari kantor yang baru beberapa jam saja ia datangi.

Merasa tidak ada yang mengerti dirinya, Iskandar akhirnya kembali mencari koneksi emosional ke koleganya yang lebih dulu keluar dari kedinasan.Bukan empati yang didapatkannya, konflik dalam pikiran Iskandar justru makin dalam. Mimpi buruk yang selalu datang dalam tidurnya kini menjelma lebih nyata. 

Setelah dari kantor gubernur, ia mendatangi Gafar, kawannya dulu saat berdinas yang kini sudah menjadi kontraktor bangunan. Ia ingin mendatangi Gunawan, pimpinan divisinya dulu. Gafar sudah bilang untuk tidak mendatangi Gunawan. Namun Iskandar tetap menemuinya dan mengetahui Gunawan menggunakan cara-cara licik dalam berusaha. Ia bahkan ingin menggunakan jasa Iskandar sebagai mantan tentara untuk menakut-nakuti kompetitornya.

 

Iskandar tidak mau dan menemui rekan lama lainnya, Puja, yang kini menjadi germo. Ia mengobrol bersama Laila (Dhalia), satu-satunya pekerja Puja. Laila punya banyak mimpi. Beberapa di antaranya bersuamikan lelaki baik, tidak seperti mantannya. Juga berbusana indah seperti kliping yang ia kumpulkan dari potongan majalah mode terkini. Percakapan ini terasa cukup absurd dan tidak ada ujung pangkalnya. Namun kita bisa melihat bahwa tidak peduli di masa kapan pun, bahkan hanya beberapa saat setelah penjajahan, tampaknya fantasi kosumerisme dan kapitalisme sudah menyebar pada seluruh lapisan masyarakat. Dhalia sendiri meraih penghargaan di Festival Film Indonesia pertama tahun 1955 atas perannya di film ini. 

 

Realitas dan Idealisme Seorang Tentara

Sedikit banyak, film ini membicarakan idealisme Iskandar tentang bagaimana seorang harus bertindak. Orang-orang lain yang sudah lebih dulu keluar dari kedinasan memilih realitas mereka sendiri. Gafar menjadi kontraktor sukses, Gunawan adalah usahawan culas, sedang Puja seorang germo.

Sebelum sempat beradaptasi dengan dunia orang-orang ‘biasa’, Iskandar sudah dikecewakan oleh realitas. Ia tidak diterima lingkungan. Para koleganya juga terasa sangat menyimpang. 

Sebagai seorang tentara di ‘institusi’ penuh birokrasi, Iskandar hanya tahu mematuhi perintah atasan. Gambaran latar belakang budaya pada orang-orang ‘berseragam’ sepertinya sedikit disinggung di film ini. Meski kadang mempertanyakan, Iskandar tetap menjalankan instruksi. Saat ia tahu perintah atasannya didasari kepentingan pribadi, alih-alih untuk negara, ia merasa dikhianati dan sakit hati setengah mati. 

Penonton ikut mengetahui peristiwa yang terjadi saat dinas lewat kilas balik yang terjadi berkali-kali. Sedikit mengganggu karena mediumnya yang hitam putih. Tiada pembeda antara masa kini dan dulu. 

Mendekati akhir film, Iskandar tahu kebenaran terbaru dari Gafar. Keluarga yang ditembaknya atas perintah Gunawan ternyata hanyalah pengungsi. Perhiasan mereka digunakan untuk membangun bisnis Gunawan. Iskandar pun ‘terbakar’ saat dikompori Puja dan segera ke rumah Gunawan sambil menodongkan pistolnya. Iskandar ingin mantan atasannya mengakui kesalahan terdahulu. Gunawan terus menyangkal dan karena emosi Iskandar tak sengaja menekan pelatuknya. Gunawan tewas tertembak. 

Jangan Lupakan Romansa

Sejak film dimulai, kita dikenalkan pada Norma. Kekasih yang cantik dan pandai bergaul. Jangan lupakan juga bucin, budak cinta. Bahkan setelah bertahun-tahun ditinggalkan, Iskandar yang kini belum punya pekerjaan tetap ia terima dengan sepenuh hati. Saat Iskandar menghilang dari pesta pun, Norma aktif mencari dan tidak mempedulikan hampir datangnya jam malam yang riskan untuk beraktivitas.

Iskandar pun sama-sama terpanah asmara. Setelah pergi ke mana-mana, akhirnya ia akan kembali ke Norma. Begitu juga setelah membunuh orang, yang terpikir hanya kekasihnya. Iskandar berusaha berlari menuju rumah Norma. Ia lupa jam malam sedang berlaku. Tepat di depan rumah Norma, Iskandar ditembaki tentara.

Arsip Film Indonesia

Sebagai sebuah film, Lewat Djam Malam mendokumentasikan zaman sehingga sangat penting keberadaannya. Restorasi agar film ini dapat diputar kembali dilakukan bersama Laboratorium L’Immagine Ritrovata, Bologna, Italia. Bekerjasama dengan National Museum of Singapore (NMS) dan World Cinema Foundation. 

Film Lewat Djam Malam berlatar di Bandung setelah Indonesia mengumumkan proklamasi kemerdekaannya dari Belanda. Tentara berusaha mengendalikan situasi saat itu dengan memberlakukan jam malam. Adegan muda-mudi berdansa-dansi sambil menyanyikan lagu Rasa Sayange amat menarik ditonton. Riuh. Jadi potret sebagian kaum dengan privilege saat itu. Kontras busana Norma dan Laila juga jadi poin plus penggambaran perbedaan kelas pada zaman dulu.

Akting para pemainnya sangat kental bernuansa teatrikal. Agak berbeda dengan pengadeganan filmis yang kini umum dikenal. Hal ini tidak mengherankan mengingat para pemainnya juga berasal dari panggung-panggung sandiwara, seperti A. N. Alcaff dan Netty Herawati. Akting jempolan A. N. Alcaff bahkan diganjar penghargaan Festival Film Indonesia di tahun 1955. Juga menjadi salah satu faktor Lewat Djam Malam memenangkan kategori film terbaik di ajang yang sama.

Hanya saja, akting yang teatrikal ini, menurut akademisi Dag Yngvesson, membuat film lebih digemari kalangan A dan B. Kelas atas. Masyarakat bergolongan C dan D umumnya tidak menyukai film Lewat Djam Malam. Sepertinya saya juga termasuk salah satu di antara golongan tersebut. Durasi panjang dengan warna hitam putih membuat saya berjuang menyelesaikan film ini. Meski begitu, film ini tetap layak jadi salah satu tontonan wajib untuk mengetahui sejarah perfilman Indonesia yang cukup panjang.

Lewat Djam Malam | 1955 | Sutradara: Usmar Ismail | Penulis: Asrul Sani | Pemeran: A. N. Alcaff, Netty Herawati, Dhalia, Awaludin, Bambang Hermanto

 

Mencuri Raden Saleh: Film Heist Ala Anak Jaksel

Raden Saleh bukan sekadar nama jalan di Jakarta. Ia pelukis ternama. Pionir aliran lukisan modern pertama Indonesia. Karyanya yang paling terkenal, Penangkapan Diponegoro, menjadi sumber konflik dalam film Mencuri Raden Saleh.

Film yang tayang 25 Agustus ini disutradarai Angga Dwimas Sasongko. Sebelumnya ia sudah pernah mengarahkan film Hari untuk Amanda, Filosofi Kopi, hingga yang paling anyar, Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini. Namun kebanyakan filmnya bergenre drama, berbeda dengan Mencuri Raden Saleh. 

Mencuri Raden Saleh dipromosikan sebagai film heist pertama Indonesia. Pengalaman penuh ketegangan saat menonton jadi janji Visinema, produsen film ini. Tapi benarkah penuh ketegangan? Mari kita ulas.

Spoiler alert btw.

Continue Reading

Bingung Memilih Asuransi Kesehatan? Ini Dia 3 Hal yang Perlu Kamu Perhatikan

 

Bulan Juli lalu, setelah 2 tahun alhamdulillah baik-baik saja, akhirnya aku kena COVID juga. Gejalanya lumayan meresahkan. Demam dan panas tinggi beberapa hari. Sehingga kuputuskan untuk ke rumah sakit. 

After all the complications and test, akhirnya aku cuma rawat inap sehari. Saat membereskan administrasi, berapa tagihan akhirnya? 10 juta! Hanya untuk rawat inap sehari semalam. Untungnya aku sudah membeli asuransi kesehatan pribadi setahun sebelumnya. Jadi aman lah.

Nah beberapa hari lalu, ada temen yang baru keluar dari rumah sakit. Setelah ngobrol-ngobrol, tagihannya untuk 1 hari di rumah sakit sekitar belasan juta. Belum termasuk deposit 10 kali lipat harga kamar. Apalagi ia sedang di pekerjaan baru, sehingga biaya perawatan tidak di-cover seluruhnya. Sekarang temanku sedang mempertimbangkan untuk beli asuransi kesehatan, dan lagi bingung produk apa yang baik untuk dipilih.

Aku pun sempat mengalami hal yang sama. Terlalu banyak pilihan produk. Dokumennya berlembar-lembar dengan tulisan super kecil. Kita sebagai calon konsumen jadi agak sulit membacanya. Akhirnya kuputuskan untuk membuat perbandingan askes swasta seperti di screenshot ini. Terakhir sih aku membandingkan 15 produk askes.

Nah ternyata banyak juga yang mengalami kebingungan yang sama. Jadi mau sharing aja tentang apa yang kutahu mengenai askes. Ini akan jadi serial karena kayaknya akan terlalu panjang kalau cuma sekali saja.  Continue Reading

Rama & Dinda: Menyimpan Rahasia Kala Menyongsong Mahligai Pernikahan

Poster Rama & Dinda

Rama (Nusa Kalimasada) dan Dinda (Runny Rudiyanti) hanya tinggal menghitung waktu, seminggu lagi, sebelum menjadi suami istri. Bagi Rama, penantian itu terasa sangat menyenangkan. Sebaliknya bagi Dinda yang menyimpan rahasia, ia menunggunya dengan penuh beban.

Beban itu mulai terasa nyata saat film dibuka dengan Dinda yang menunduk dan menggigit bibir, seakan ragu-ragu, sambil membuat kopi untuk tamunya. Sepanjang obrolan pun Dinda tetap menundukkan wajahnya, melihat ke lantai. Sesekali ia menatap Rama. Malu-malu. 

Sebaliknya, Rama pertama kali kita saksikan membaca Qur’an dengan keras. Agak janggal mengingat aktivitas tersebut dilakukan saat sedang bertamu. Namun bisa jadi mengukuhkan karakternya yang disebut seorang muslim taat. Atau dalam dialog ia dijuluki Si Kuncen Masjid. Penampilannya yang berjambang dan berjanggut juga makin menguatkan persepsi tersebut. Mengikuti sunnah nabi. Ya, mungkin kecuali kumisnya. Continue Reading